MENU
SEARCH KNOWLEDGE

B2B: Pengertian dan Cara Memperkuat Brand B2B di Media Sosial

25 Feb  · 
4 min read
 · 
eye 4.602  
Business

redcomm

Anda pasti pernah mendengar B2B atau Business to Business, kan? Cari tahu di artikel ini yuk, pengertian B2B, alasan kenapa B2B tidak menggunakan media sosial, serta cara memperkuat keberadaan brand B2B di media sosial.

Pengertian B2B

Perusahaan atau brand B2B adalah perusahaan yang melakukan transaksi dan menjual produk, jasa, atau layanan bisnisnya ke perusahaan lain. 

Bisa dikatakan B2B atau Business to Business adalah bisnis yang dijalankan dengan target marketnya bisnis lain, bukan end user atau langsung ke konsumen.

Contoh perusahaan B2B di Indonesia, antara lain Ralali dan BliBli yang menjadi e-commerce dengan target market pebisnis online. 

Lalu ada Kawan Lama yang menjadi supplier peralatan ke berbagai perusahaan, atau pemasok bahan baku dan bahan mentah, hingga digital marketing agency seperti Redcomm yang membantu banyak brand untuk melakukan promosi dan pemasaran digital.

Urgensi Brand B2B Berpromosi di Media Sosial

Selama ini ada anggapan bahwa media sosial bukanlah platform yang efektif untuk komunikasi pemasaran brand B2B (Business-to-Business). 

Ini karena purchase decision dan customer journey brand B2B dinilai berbeda jauh dibandingkan dengan B2C (Business-to-Consumer).

Selain itu, konten khas social media dengan kemampuannya menggugah emosi tidak cocok untuk audience B2B yang rasional. Inilah yang kemudian membuat banyak brand B2B tidak menggunakan media sosial sebagai media promosi dan pemasaran.

Padahal anggapan ini salah lho. Mengabaikan penggunaan media sosial malah membuat brand B2B bisa kehilangan relevansi dengan target audiens. 

Jadi, apa urgensi brand B2B harus ber-social media

Anda sebagai pemilik brand B2B harus tahu bahwa saat ini para millennials semakin banyak mengisi posisi-posisi penting dalam perusahaan. 

Mereka punya suara dalam purchase decision produk dan jasa bagi perusahaan. Tak jarang yang mengisi posisi puncak sebagai pengambil keputusan bisnis.

Millennials: Generasi Baru Buyer B2B

Mari kita tengok data LinkedIn. Platform yang dibeli Microsoft ini dipersepsikan sebagai social media untuk karir dan bisnis.Berikut data di LinkedIn yang perlu Anda pertimbangkan:

  • Ada sekitar 17 juta pengguna LinkedIn aktif di Indonesia saat ini dan hampir 95% berusia 35 tahun ke bawah (18-34 tahun).
  • Ada sekitar 9,3 juta orang berusia 25-24 tahun. 
  • Sekitar 1,5 juta di antaranya menduduki posisi supervisor ke atas.
  • Bahkan ada sekitar 160,000 orang dalam rentang usia tersebut yang bertitel “Director.”

Pakar strategi konsumen Eric Almquist dari Bain & Company, dalam artikelnya di Harvard Business Review menuliskan bahwa para digital native (kelompok millennials) telah mengubah cara pembelian B2B.

Lahir dan besar di era teknologi digital membuat mereka familiar dengan komputer dan Internet sejak usia dini. Mereka sudah terbiasa mencari informasi secara mandiri, termasuk melakukan riset produk sebelum memutuskan membelinya. Googling adalah hal biasa ketika melakukan riset produk.

Pola inilah yang juga mereka bawa ketika meriset vendor pemasok produk dan jasa B2B. Ketika melakukan riset, ada lebih banyak informasi yang dipertimbangkan millennials. Tidak hanya informasi terkait produk, jasa dan latar belakang perusahaan, tetapi juga hal-hal yang sifatnya subjektif.

Hal-hal subjektif ini, antara lain bagaimana upaya calon vendor melestarikan lingkungan, peduli pada masalah-masalah sosial, dan aktivitas filantropis lainnya. 

Berbagai hal tersebut, menurut Almquist, adalah “nilai-nilai” yang sifatnya inspirasional dari calon vendor. Survei dari konsultan pemasaran Merit mengungkapkan, sebanyak 80% millennials menyatakan nilai-nilai inspirasional itu penting.

Bagaimana brand B2B menunjukkan nilai-nilai inspirasional tersebut? Disinilah peran social media menjadi media yang efektif untuk menceritakan nilai-nilai inspirasional. 

Selain kemampuan menginspirasi target audience, social media juga semakin penting untuk membangun kredibilitas. 

Ciri khas millennials yang lain adalah mereka terbiasa lebih mempercayai ulasan dan rekomendasi jaringan pertemanan dalam media sosial ketimbang sumber dari brand.

Jadi tunggu apa lagi, kini waktunya Anda mengambil kesempatan terbaik untuk mengembangkan bisnis secara signifikan dengan memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menjangkau millennials sebanyak mungkin.

Mendukung Search Engine Marketing (SEM)

Search engine adalah tools yang lazim digunakan dalam proses pembelian B2B. Riset Google bahkan menyatakan search engine merupakan sumber informasi nomor satu untuk riset B2B.

Hal tersebut terlihat ada sebanyak 90% dari total pencari dengan latar belakang B2B menggunakan search engine hanya untuk keperluan purchasing

Keyword apa yang mereka cari, untuk bisa sampai menemukan dan memilih brand B2B? Masih menurut data Google, sebanyak 71% melakukan pencarian generik, seperti kategori produk, sub-kategori, atau masalah yang mereka hadapi. Jadi para pembeli B2B tidak langsung melakukan pencarian dengan keyword brand.

Pencarian generik ini berperan penting dalam tahap awal path to purchase. Secara umum, pembeli B2B yang melakukan riset melakukan 12 kali pencarian sebelum berinteraksi dengan website brand.

Seperti kita ketahui persaingan di pencarian keyword generik lebih ketat daripada brand. Apalagi jika kualitas konten relatif sama. Maka, berikut peran media sosial:

1. Membangun Brand Awareness

Media sosial berperan besar dalam membangun awareness, sehingga para pembeli B2B punya preferensi sejak awal melakukan riset di search engine

Bahkan dari informasi di media sosial, mereka bisa menemukan berbagai keyword yang nanti mereka gunakan dalam pencarian di search engine.

2. Peningkatan Akurasi Kampanye Awareness

Kekuatan platform social media adalah pada audience data yang bisa kita manfaatkan untuk meningkatkan akurasi dari kampanye awareness. 

Melalui audience data, setiap impression tidak akan sia-sia karena pesan kita sampai kepada target audience yang memang ingin kita bidik.

Kampanye awareness yang berhasil akan meningkatkan volume pencarian keyword brand. Volume pencarian yang semakin besar berpotensi meningkatkan traffic ke website. 

Ditambah dengan konten yang berkualitas dan relevan, bounce rate akan rendah dan kinerja SEM-pun menjadi lebih baik.

Simak artikel Redcomm Knowledge tentang bagaimana mengukur efektivitas kampanye brand awareness.

Buying Process B2B

Ada mitos dalam B2B marketing yang beranggapan bahwa buying process berlangsung secara rasional dan logis. Tidak ada ruang bagi faktor emosional untuk mempengaruhi purchase decision para pihak yang terlibat. 

Seperti kita ketahui, buying process ini melibatkan banyak pihak, mulai dari purchasing committee, konsultan eksternal, hingga procurement internal

Namun survei yang dilakukan Google, CEB Marketing Leadership Council dan firma riset Motista membuktikan bahwa anggapan itu salah. 

Faktor emosional pada brand B2B jauh lebih besar dibandingkan B2C. Dari 100 brand B2C yang dipelajari oleh Motista, kebanyakan memiliki koneksi emosional hanya dengan 10% sampai 40% dari konsumennya.

Di sisi lain, ada data yang menunjukkan kalau 7 dari 9 brand B2B dalam studi tersebut, memiliki koneksi emosional dengan lebih dari 50% konsumennya. 

Secara umum, pelanggan brand B2B lebih terikat secara emosional dengan para vendor dan penyedia layanan mereka, ketimbang konsumen B2C.

Sekilas temuan ini mengejutkan. Namun sebenarnya masuk akal bahwa koneksi emosional dengan pelanggan B2B lebih tinggi. Ketika konsumen individual membuat pembelian yang salah, taruhannya relatif lebih rendah. Solusi terbaik, produknya masih bisa dikembalikan kepada penjual.

Tapi pada pembelian skala bisnis, faktor risiko bisa jadi sangat besar. Sebagai contoh, kesalahan dalam membeli sistem teknologi informasi seharga jutaan dolar bisa berujung pada kerugian besar bagi perusahaan. 

Bahkan kesalahan seperti ini bisa berakibat hilangnya pekerjaan. Wajar jika pelanggan bisnis membutuhkan koneksi emosional supaya lebih percaya diri untuk mengatasi faktor risiko tersebut.

Emotional Storytelling

Sekali lagi, social media adalah platform yang ampuh untuk membangun koneksi emosional dengan cara storytelling

Tentu saja kita tidak bisa mengaplikasikan begitu saja strategi social media B2C untuk brand B2B. Hal ini terutama karena siklus pembelian brand B2B jauh lebih panjang sehingga kita perlu menyentuh emosi yang tepat.

Humor, drama, dan percintaan yang biasanya manjur untuk brand B2C tidak relevan bagi brand B2B. Namun emosi yang bisa membangkitkan rasa percaya, menunjukkan kehandalan, kredibilitas, dan rasa kemitraan lebih cocok untuk membangun brand B2B.

Satu hal yang perlu diperhatikan ketika B2B storytelling yang menggunakan faktor emosional: kita harus tahu kadar yang tepat. Jika berlebihan, ada risiko brand B2B dianggap manipulatif. Hal ini akan menggerus kepercayaan pembeli B2B.

Pendekatan yang baik adalah faktor emosional ini diposisikan sebagai pendukung dari faktor logis dan rasional. Kita harus bisa menunjukkan secara rasional problem, solusi, dan benefit. Baru setelah itu, kita membangun emotional storytelling.

Ada banyak cara untuk membangun emotional storytelling di social media. Perusahaan teknologi Salesforce misalnya, dikenal sering mengangkat cerita-cerita tentang karyawannya via Twitter dan Facebook.

Di Instagram yang mengedepankan unsur visual, Salesforce menghadirkan karakter kartun yang lucu. Pendekatan humanis dan tokoh kartun ini digunakan untuk menyeimbangkan kesan produk teknologi yang keras, membosankan, dan serius.

Setiap platform social media memiliki karakteristiknya masing-masing. Strategi social media brand B2B di Facebook, Instagram, Twitter dan LinkedIn harus bisa menyesuaikan dengan karakter tersebut.

Bagaimana kita membangun strategi pemasaran media sosial untuk setiap platform? Perlukah brand B2B hadir di semua platform? Apakah Tiktok platform yang tepat? Simak terus Redcomm Knowledges atau langsung saja klik Kontak Redcomm untuk mendiskusikan hal ini.

SUBSCRIBE NOW

RELATED TOPICS:

DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU

SUBSCRIBE NEWSLETTER